Zona waktu tunggal di Indonesia

Seperti kita tahu bahwa Indonesia mempunyai 3 waktu yaitu WIB, WITA, dan WIT. Pemerintah berencana menyatukan waktu di Indonesia menjadi satu, yaitu GMT +8. Alasan utamanya adalah efisiensi atau daya saing ekonomi Indonesia meningkat dan birokrasi lebih efisien. Juga, untuk meningkatkan produktivitas nasional. 

"Selisih satu jam di antara tiga zona waktu di Indonesia ini tidak efektif. Contohnya, dalam waktu dagang antara dunia usaha di zona WIB dan WIT. Kalau transaksi perdagangan di Jakarta dimulai jam 09.00 WIB dan berakhir pada jam 17.00 WIB, berarti waktu yang efektif untuk aktivitas perdagangan antara dunia usaha di zona WIB dan WIT cuma empat jam," kata Edib Muslim, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat dan Promosi Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI)

Saya jadi ingat sebuah novel  berlatar budaya Cina hadiah  mbak Hilsya untuk giveaway ulang tahun Syafiq dan Hilsya. Sayang saya lupa judulnya, padahal sudah saya baca 4 kali. Di China yang seluas itu (65°) seharusnya mempunyai 5 zona waktu. Namun di Cina diberlakukan satu zona waktu (single time, GMT 8) sehingga ketika di kota lain sudah pagi, di bagian lain Cina masih malam. Dan hebatnya Cina berhasil. Keberhasilan ini lebih fenomenal dari runtuhnya tembok Beijing karena menciptakan keajaiban ekonomi Cina. India yang seluas itu juga memberlakukan 1 zona waktu. Korea yang yang seharusnya berada GMT +8 menyesuaikan dengan Jepang sehingga menyatakan GMT +9. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang mempunyai 3 zona waktu? Berhasilkah Indonesia menyatukannya? Terbayang sudah kerepotannya. Tetapi apa iya, karena repot di awal, kita menolak perubahan baru?

Salah satu penyebab kontranya adalah waktu sholat dzuhur yang tidak bisa disatukan dalam satu zona waktu. Tetapi apa iya, jika negara lain bisa mengatur perbedaan ini kita tak bisa karena alasan negara kita mayoritas muslim? Bukankah kita negara yang mempunyai tenggang rasa besar. Di pemerintahan juga lebih banyak yang muslim, dan mereka tentu telah memikirkan cara agar ibadah mereka juga tetap yang terbaik? Biarkan mereka menggagasnya. Jika tak sesuai, baru kita bicara.

Mari kita kaji bersama sejarah perubahan zona waktu
GMT (Greenwich Mean Time) diperkenalkan pertama kali di Greenwich London pada tahun 1675 ketika kota tersebut dinyatakan sebagai Royal Observatory untuk keperluan navigasi pelayaran Inggris. Penetapan waktu GMT didasari oleh perjalanan matahari ketika melewati garis meridian nol derajat di Observatorium Greenwich di tenggara London. Kemudian pada tahun 1870 seorang insinyur kereta api Kanada menggagas perlunya standard waktu dunia. Tahun 1884, di konferensi Meredian, 27 utusan dari berbagai Negara menyepakati pembagian 24 zona waktu. Setiap zona selebar 15° berlaku 1 zona waktu, dan dimulai dari Greenwich di London. Ini berdasarkan rotasi bumi yang 24 jam perhari.  Itu berarti Rusia yang selebar 165° memiliki 11 zona waktu, Cina yang selebar 65° memiliki 5 zona waktu, amerika memiliki 9 zona waktu, dan kanada 6 zona waktu.

Sejalan dengan waktu, demi alasan perkembangan ekonomi, beberapa Negara mengabaikan pembagian zona waktu Fleming. Negara bebas mengatur kembali zona waktunya. Dan Cina berhasil menyatukan 5 zona waktunya menjadi 1 zona waktu. Keberhasilan ini menyusul perkembangan ekonomi Cina yang luar biasa dan membuat beberapa Negara mengikuti jejak keberhasilan Cina. Termasuk para pemimpin Negara Asean yang bermaksud menyamakan zona waktu.

Pembicaraan tentang penyamaan zona waktu Asean telah dimulai sejak Desember 1995 dengan membentuk Asean Common Time (ACT). Meski pembicaraan tersebut mentah kembali, namun Thailand mengumumkan telah memundurkan jamnya agar menyamai waktu Singapura dan Malaysia (GMT +8), yang juga menyamaan dengan zona waktu Cina, raksasa ekonomi baru. Kemudian 10 pemimpin Negara ASEAN sepakat mengadopsi zona waktu Cina pada bulan Mei 2004 di Yogyakarta. Tetapi kesepakatan tersebut kembali mentah setelah Myanmar menyatakan ketidaksiapannya. 

Sejarah penetapan zona waktu Indonesia
Sejarah penetapan zona waktu di Indonesia termasuk panjang dan berliku. 
KEMBALI ke awal abad 20 ketika Hindia Belanda mulai mengenal waktu mintakad (zona waktu). Memenuhi permintaan Staats Sporwegen (semacam jawatan kereta api), Gouvernments Besluits mengeluarkan aturan pertama pada 6 Januari 1908 dan diberlakukan mulai 1 Mei 1908. Pada era kekuasaan kolonial terpusat di Jawa, Waktu Jawa Tengah ditentukan sebagai waktu mintakad (GMT+7:12). Waktu Menengah Batavia berselisih 12 menit dari waktu mintakad. Di luar Jawa dan Madura, waktu mintakad sama sekali tidak diatur. Baru pada 22 Februari 1918 keluar beleid yang menentukan Waktu Padang 39 menit terlambat dari Waktu Jawa Tengah. Balikpapan dipergunakan +8:20 lebih dahulu dari GMT.

Aturan yang menggantikannya pada 1 Januari 1924, tak banyak berubah. Dengan bujur tolok 110°, Waktu Jawa Tengah diubah menjadi GMT+7:20. Waktu mintakad lainnya diatur oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in de Buitengewesten (penguasa daerah). Semisal, Karesidenan Bali dan Lombok menggunakan Waktu Bali, 22 menit maju dari Waktu Jawa Tengah. Meskipun Gouverment Celebes on Onderhorgheden tidak menentukan waktu mintakad, di Ibukota Makassar dipergunakan Waktu Jawa Tengah ditambah 38 menit. Penguasa di Tapanuli tinggal mengurangi 45 menit dan Padang tujuh menit dari Waktu Jawa Tengah.

Perubahan besar berlangsung sejak 11 November 1932, berdasarkan Bij Gouvernment Besluit van 27 Juli 1932 No. 26 Staatsblad No. 412. Hindia Belanda kala itu dibagi menjadi enam zona waktu dengan selisih 30 menit. Pemerintah kolonial mempertimbangkan selisih antara waktu tolok dengan waktu menengah setempat diambil sekecil mungkin, agar rakyat yang terbiasa pada jam tidak dirugikan.

Waktu mintakad berubah total selama pendudukan Jepang. Demi efektivitas operasi militer dan upaya “menjepangkan” wilayah koloni, waktu Indonesia ditentukan mengikuti waktu Tokyo (GMT+9). Waktu Jawa dimajukan 1:30 (GMT+7:30) dari waktu tolok tersebut.

Pemerintah kolonial Belanda kembali memutuskan mengubahnya menyusul pergolakan di banyak daerah. Pada 10 Desember 1947, waktu mintakad Indonesia dibagi tiga: +7 (bujur tolok 105°), +8 (120°), dan +9 (135°). Terlambat. Rakyat di Jawa dan Sumatera telanjur menyukai waktu mintakad lama. Atas dasar itu, usai penyerahan kedaulatan, pada 1 Mei 1950 Presiden Republik Indonesia Serikat Soekarno memberlakukan waktu mintakad yang sesuai dengan keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 27 Juli 1932 sebelumnya (enam zona waktu).

Belanda yang keras kepala, mencuri waktu 30 menit (GMT+9:30) untuk Papua Barat sejak ia menyabot wilayah itu. Padahal, Gubernur Jenderal Belanda terdahulu menetapkan +9. Setelah Papua Barat berhasil direbut kembali, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 243 tahun 1963 yang membagi Indonesia tiga zona waktu, sama dengan waktu mintakad pada 10 Desember 1947.

Kembali ke masa sekarang
Sejarah yang panjang, ya. Bagaimana? Setuju dengan penyatuan zona waktu di Indonesia atau tidak? Saya pribadi lebih suka mendukung semua keputusan pemerintah, siapapun penguasanya. Karena saya yakin, semua keputusan pemerintah tentunya berdasarkan pembicaraan yang panjang, studi kasus yang tak mudah, serta demi kebaikan bersama. Juga, karena saya rindu pada Indonesia yang damai, rukun sentosa (Saya rindu presiden seperti pak Harto yang tegas menindak mereka yang selalu menghalanginya.) Saya ingin Indonesia menjadi Negara maju sehingga saya merasa sedih dengan kebebasan berpendapat di Indonesia yang telah salah diartikan menjadi oposisi pemerintah. Setiap segala sesuatu harus ada oposisinya agar seimbang? OMONG KOSONG! Mereka hanya ingin membuat diri mereka terkenal dan dipilih masyarakat. Bukankah sebaiknya kita bersama-sama membangun bangsa, bukan terus mengkritik  dan menghalangi kinerja pemerintah.

Saya ingat beberapa buyer dan kenalan saya dari Eropa mengatakan, “Kalian orang Indonesia mengingatkan kami pada sejarah kami diabad lampau. Selalu bergolak untuk hal-hal baru yang seharusnya terbaik untuk kalian. Mengapa tidak bersatu dengan pemerintah kalian agar menjadi negara maju?” Dan saya hanya bisa melotot jengkel karena tak tahu harus menjawab apa. Sudah 2 tahun ini saya mogok menonton berita karena isinya sudah tidak berimbang. Seharusnya sudah ada aturan prosentasi berita. 50% berita tentang keberhasilan warga yang layak dijadikan berita, 50% lagi terserah Anda. Pada zaman pak Harto dulu setiap hari ada berita desa ini sukses panen ini, desa itu sukses mengembangkan itu. Berita sekarang isinya hanya tentang keburukan Indonesia dan betapa malangnya seseorang hingga ada yang mengatakan, Indonesia bermental pengemis, Indonesia negeri koruptor. Huh! Telinga dan hati saya panas mendengarnya. Tetapi jika itu image yang diberitakan tiap hari, apa iya saya bisa membantah? (Ayo… segera miskinkan semua koruptor baik kelas kakap maupun teri agar semua jera. Tak perlulah membunuh atau membuat koruptor kerja rodi menjadi budak seperti di Cina. Cukup buat mereka tinggal di kolong jembatan saja.)

Hah! Kemarahan saya telah membuat ide utama tulisan ini bergeser. Ayolah, kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Tak perlu berkontra-ria dengan semua usul pemerintah karena toh kesepakatannya sudah dibuat sejak tahun lama. Hanya presiden pelaksananya yang berbeda. Yukk…. satukan zona waktu di Indonesia

8 Komentar

  1. pertama waktu baca judulnya...bertanya2 dalam hati...ahhh..gak mungkin, tapi pas baca terus terang membuka cakrawala gue ttg satu zona waktu yang telah digunakan negara lain..makasih ya, Mbak udah mau dipost ya...

    BalasHapus
  2. @athief nobita: Hehe... gemes banget sama koruptor. Apalagi ketika saya terpaksa kembali menjadi FTM setelah gagal dipaksa korupsi bersama diorganisasi. (Katanya demi kebaikan organisasi sebaiknya mbak Susi mundur.)

    @choirul: Saya membayangkan kerepotannya dan sekaligus manfaatnya kelak.

    @iwan: Sama-sama. terima kasih ya sudah berkenan membacanya.

    BalasHapus
  3. Hmmm, nggak ngerti saya jika perbedaan zona waktu tersebut untuk kepentingan ekonomi, mungkin sebuah pertimbangan ekonomis tapi agar irasional. Itulah sebabnya saya selalu menyetel waktu dihandphone dengan sistem daylight. Bukan apa-apa, terasa alami dan lebih manusiawi saja.

    BalasHapus
  4. @Asep Saepurohman: Berdasarkan kesepakatan para pemimpin ASEAN tahun 2004, kemungkinan akan diberlakukan. Jika semua negara ASEAN memberlakukan 1 zona waktu di GMT+8, mengapa Indonesia tidak?

    BalasHapus
  5. kalau itu baik dan bermanfaat aku ikut saja mbak

    BalasHapus
  6. Oo.. ternyata bisa berguna untuk perekonomian ya...
    Saya baru tau, ternyata china yang sebesar itu, cuma memakai 1 zona waktu :)

    BalasHapus
  7. sy udah bbrp bulan puasa nonton media lokal mbak.. bukannya sok2an, tp cape hati aja kyknya makin lebay.. Terlepas dr kekurangan yg ada di Indonesia, sy masih berpendapat Indonesia itu banyak yang indahnya kok.. Banyak hal yg membanggakan.. Tp semuanya tertutup sm berita2 yg lebay yg justru menjelekkan negeri kita sendiri..

    BalasHapus
  8. @ke2nai: Kita sama mbak. Saya sudah lama jarang banget nonton TV. hanya teman nyetrika dan teman menjelang tidur saja.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)